Jumat, 01 April 2016

Lentera Malam

Matahari masih menampakkan sinarnya,tetapi entah mengapa benda yang berada seratus meter dari sini sudah tak terlihat,mungkin mata ini terlalu lemah untuk memandang atau memang semak-semak dan pepohonan lah yang paling berperan disini.Ini pertama kalinya aku merasakan panorama  yang berbeda, biasanya saat mentari sudah kembali ke peraduannya pun aku masih sanggup melihat benda yang jaraknya lima ratus meter, tetapi disini tepatnya di suku Dayak bagian pedalaman sangatlah berbeda.Keadaannya masih sangat menghawatirkan bahkan belum ada listrik disini, bahkan saat malam tiba masyarakat suku Dayak hanya menggunakan lentera sebagai alat penerangannya.”Bu Guru tidak mandi ? kalau mau mandi mari ikut saya.” “Emmm tidak bu,besok pagi saja saya mandinya.” “Oh yasudah ,besok pagi kalau bu guru mau mandi mampir ke rumah saya dulu  ya,nanti saya antar ke tempat pemandiannya .” “Baik bu terimakasih.” Akhirnya ibu-ibu tadi pergi meninggalkanku .Beberapa warga yang ada di sini memang baik, tetapi kebanyakan warga yang tinggal disini sifatnya begitu keras,mereka hanya berpegang pada pendapatnya sendiri-sendiri.
            Baru pukul enam sore tapi rasanya bagaikan tengah malam, aku terpaksa untuk masuk ke dalam rumah.Rasanya seperti tak ada peradaban di suku ini, kegelapan dan kesunyianlah yang sangat berperan disini.Aku mulai merasa lapar, tetapi aku tak tahu harus kemana aku mencari makanan.Di sepanjang perjalananku menuju tempat ini tak satu pun aku temui warung makanan.Mungkin warga disini sangat mandiri hingga mereka selalu memenuhi kebutuhannya sendiri-sendiri.
Tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu rumahku “Siapa?” “Saya Bu guru,saya mau menghantarkan makanan” “Oh iya bu silahkan masuk,pintunya tidak di kunci.” “Baik.” Alhamdulillah akhirnya ada warga yang peduli denganku.”ini makanannya ditaruh mana bu?” “Ditaruh di meja sini saja bu.” “Iya.” “Mari duduk bu,kita makan bersama.” “Ah tidak usah,bu guru saja yang makan ,saya sudah makan tadi.” “Baiklah bu,terimakasih ya bu sudah di bawakan makanan.” “Iya bu sama-sama ini sudah menjadi kewajiban saya sebagai istri kepala suku untuk memberikan makanan kepada tamu.Ibu betah tinggal disini ?” “Do’akan ya bu,semoga saja saya betah.” “Baik.Mulai kapan bu guru akan mengajar?” “Besok saya sudah mulai mengajar bu.” “Semoga ibu kuat dan betah mengajar disini.Dulu juga sudah pernah ada guru yang di tugaskan disini tapi ia tidak betah mengajar di sini dan akhirnya pulang.” “Memang murid-murid disini,sifatnya bagaimana bu?” “Ya sebagian besar dari mereka masih sulit untuk menerima pelajaran bu?” “Apakah semua anak yang ada disini bersekolah bu?” “Tidak,kebanyakan dari anak yang ada di sini lebih memilih membantu orang tuanya berburu dan memasak,karena mereka beralasan sekolah hanya akan menghabiskan uang.” “Tapi kan disini sekolah gratis bu.” “Iya sekolahnya gratis tetapi seragamnya mahal .” “Oh jadi itu alasannya.” “Iya.Bu guru sudah selesai makannya?” “Sudah bu.” “Bagaimana rasanya enak apa tidak.” “Enak bu” Ibu kepala suku pun memasukkan wadah makanan ke dalam tasnya “ Loh bu kan belum saya cuci.” “Nggak apa-apa bu guru disini kan nggak ada air,nanti saya cuci di rumah saja.” “Sekali lagi terimakasih banyak ya bu.” “Iya sama-sama.”
            Keesokan harinya,saat masih pagi buta aku bergegas ke rumah ibu kepala suku untuk mandi,tetapi betapa terkejutnya aku,saat aku mengetahui bahwa tempat pemandian itu adalah sungai.Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mandi,dan langsung bergegas ke sekolahan untuk mengajar.Rasanya sudah tidak sabar untuk menemui murid-murid baruku.
            Tetapi kenyataannya semua tak seperti yang kuharapkan.Murid-murid yang datang hanya sedikit,bahkan tak ada satu pun dari mereka yang menghargai kedatanganku.Tetapi aku harus tetap semangat.Aku menyuruh mereka masuk,lalu aku memperkenalkan diri pada mereka.Tapi tetap saja mereka malah asyik berbincang-bincang sendiri.Rasanya begitu menyesakkan, tapi inilah perjuangan “Murid-murid apakah semuanya sudah lengkap?” “Belum bu.” “Lalu siapa yang belum datang?” “Ani bu.” “Mengapa dia tidak masuk?” “Tidak tahu bu.” Tanpa berfikir panjang aku langsung memulai pelajaran untuk hari ini.
            Beberapa jam kemudian Ani pun datang,seperti anak tanpa sopan santun ia masuk tanpa salam ataupun izin terlebih dahulu, “Kamu Ani kan?” “Iya bu.” “Mengapa kamu telat?” “Tadi saya membantu ibu mencari sayur di hutan, sebenarnya saya sudah di suruh pulang duluan tetapi di perjalanan menuju rumah saya terjatuh dan kaki saya keseleo,lalu saya tidak bisa berjalan dan memutuskan untuk menunggu ibu saya,hingga akhirnya ibu pulang melewati jalan yang sama ,dan akhirnya mengajak saya pulang lalu mengobati kaki saya yang keseleo.” “Lalu ,sekarang kaki kamu masih sakit.” “Tidak bu,sudah sembuh.” “Oh ya sudah,mari anak-anak kita lanjutkan belajarnya.” Saat pelajaran masih berlangsung salah satu murid bertanya “Apa sih bu gunanya kita belajar ? toh orang tua saya yang tidak sekolah juga bisa menghidupi saya dan saudara saya.” “Ya supaya kita lebih pandai dan menjadi insan yang cerdas sehingga mudah untuk mencapai cita-cita.” “Tapi apa gunanya cita-cita bu sementara tanpa cita-cita pun kita masih bisa hidup.” “Jika kita mempunyai cita-cita dan cita-cita kita tercapai maka kita akan menjadi orang yang berarti.” “Oh.”
            Sepanjang aku mengajar tak satupun anak yang memperhatikanku, bahkan Ani malah berbicara sendiri,sehingga teman-temannya pun ikut gaduh.Tapi aku tetap semangat,mungkin ini semua terjadi karena mereka masih beradaptasi ,lagipula mereka masih SD jadi wajar jika mereka belum tahu jika tindakan mereka dapat menyinggung perasaan orang lain.Hingga akhirnya pelajaran pun berakhir, mereka bergegas untuk pulang kerumah masing-masing.Tak lupa aku mengajari mereka untuk berdo’a dan berjabat tangan sebelum pulang.Sebagian dari mereka ada yang tertib dan mengikuti perintahku, sebagian juga ada yang langsung pulang , dan Ani ,hmm lagi-lagi anak itu bertindak semaunya sendiri,saat semua masih khidmat berdo’a ia malah langsung pergi meninggalkan kelas tanpa permisi.
            Hari kedua,dan hari-hari berikutnya pun sikap mereka masih tetap.Mereka sepertinya menganggap pelajaran itu tidak penting bahkan mereka tidak menginginkan untuk meneruskan sekolah,mereka sekolah seperti hanya terpaksa,bukan karena kemauannya sendiri.Hingga akhirnya tepat satu bulan aku mengajar disini,aku memutuskan untuk berhenti mengajar disini.Masih pagi buta aku bergegas ke suku Dayak luar untuk menemui kepala dinas pendidikan suku Dayak.Tapi sesampainya disana “Jadi ibu memutuskan untuk berhenti mengajar di suku Dayak bagian pedalaman?” tanya sang kepala Dinas Pendidikan “ Iya pak saya sudah tidak betah mengajar disini,sepertinya murid-murid juga tidak membutuhkan kehadiran saya.” “Justru itu bu,karena murid-murid suku Dayak pedalaman belum mengerti betapa pentingnya pelajaran ,maka kehadiran ibu Evita disini sangatlah dibutuhkan,jadi saya mohon ibu untuk tetap mengajar disini,bahkan jika ibu sanggup ibu bisa mengajak anak-anak yang belum mampu bersekolah untuk mulai bersekolah .” “Tapi bagaimana caranya pak,mereka menganggap sekolah hanya menghabiskan uang dan lagi-lagi seragam yang jadi alasannya.” “Ya ibu harus memberi kebebasan pada mereka untuk tidak memakai seragam sekolah.” “Bagaimana mungkin pak?mereka yang berseragam saja tidak bisa diatur apalagi mereka yang tidak berseragam.” “Ibu harus sabar,ibu anggap saja ini adalah pengabdian,ibu harus paham bagaimana kualitas pendidikan di negeri kita ini.Jika seperti ini saja ibu sudah menyerah lalu akan jadi seperti apa negeri kita dengan generasi penerus bangsa yang tanpa ilmu.” “Baik kalau begitu saya akan berusaha lebih keras lagi pak, terimakasih atas masukkannya.”
            Setelah selesai berbincang-bincang dengan kepala dinas pendidikan suku Dayak aku bergegas untuk pulang.Hal pertama yang kulakukan adalah mendatangi satu-persatu rumah anak yang sudah waktunya sekolah tetapi ia belum mampu bersekolah.”Permisi pak,apakah bapak memiliki anak yang sudah cukup umur untuk sekolah tetapi,ia belum bersekolah?” “Ibu ini siapa ?apa urusan ibu sehingga bertanya-tanya seperti itu,memangnya ibu pikir sekolah itu nggak pakai uang.” Jawab seorang bapak dengan suara kasar.”Maaf pak sebelumnya,saya guru baru disini,saya baru ditugaskan disini selama satu bulan.Saya ingin semua anak disini mendapatkan pelajaran yang sama.Jadi,saya kesini bermaksud untuk mengajak anak bapak bersekolah,anak bapak akan diberikan kebebasan untuk tidak berseragam,sehingga bapak tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyekolahkan anak bapak.Apakah bapak setuju dengan tawaran saya?” “Lebih baik ibu keluar saja dan pulang kerumah ibu!!!anak saya tidak butuh sekolah,ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan.” Lalu sang bapak mendorongku keluar dari rumah dan menutup pintu rumahnya.
            Namun aku tak berhenti sampai disini,aku terus mendatangi rumah-rumah warga yang anaknya butuh sekolah.Namun aku tak berdaya,saat lebih dari 90% warga yang aku datangi menolak tawaranku,sehingga aku harus terima dengan 5 murid baru yang setuju dengan tawaranku.Setidaknya sekarang aku mengajar 15 murid.Aku hanya berharap mereka bisa menjadi insan yang lebih berguna dan mempunyai tujuan hidup.
            Hingga saat ini murid-murid yang ku ajar belum sepenuhnya memperhatikan pelajaranku.Hanya mereka yang tidak berseragamlah yamg sepertinya sangat membutuhkan pelajaranku.Hingga akhirnya aku kesal,dan mengeluarkan kata yang tidak sepantasnya mereka dengar.Sebenarnya aku hanya mengajari mereka untuk bersyukur,karena mereka masih mampu sekolah bahkan berseragam.Karena diluar sana masih banyak anak-anak yang ingin merasakan indahnya di bangku sekolah namun mereka tak mampu.Seketika mereka yang awalnya gaduh menjadi diam,seakan mereka benar-benar paham apa yang kukatakan.
            Sejak saat itu mereka lebih memperhatikan apa yang aku ajarkan,bahkan sekarang mereka menjadi lebih tertib dan disiplin,tak ada satupun murid yang tidak mengerjakan PR.Bahkan Ani yang dulunya tak pernah bisa diatur,kini dia mulai disiplin dan selalu memperhatikan sekolah,sekarang ia terlihat lebih bersemangat saat sekolah.
            Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian Ujian Nasional pun diselenggarakan.Semua murid yang ku ajar lulus seratus persen bahkan Ani mampu menembus rangking sepuluh besar.Aku sangat bersyukur,apalagi saat ia berkata bahwa ia akan melanjutkan sekolahnya ke luar kota.Rasanya hatiku seperti terbang tinggi jauh menembus awan.Pada hari itu juga Kepala Dinas Pendidikan menemuiku”Selamat ya ibu berhasil memberikan cahaya di suku ini dengan ilmu yang ibu berikan,andai saja semua guru bisa seperti ibu,saya yakin 15 tahun kedepan negeri ini akan menjadi negeri yang tinggi SDM-nya.” “Terima kasih pak, ini juga berkat motivasi dari bapak,hingga akhirnya saya bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita lakukan selama kita mau berusaha.”

Secangkir Cappucino


Mentari mulai menyapa dunia dari ufuk timur, sinarnya mulai memancar dan menghangatkan setiap ruas tubuhku. Pagi ini masih sama dengan pagi-pagi sebelumnya. Akan tetapi, event besar yang diselenggarakan di sekolahku membuat jiwa ini bersemangat untuk datang lebih awal. Ya, ini memang masih pukul 05.30 WIB. Tetapi, tak sabar rasanya untuk segera menyambut para peserta yang ikut di event tersebut. Sudah pasti para panitia event telah datang dan berkumpul hingga halaman sekolah terlihat penuh dengan hiruk pikuk keramaian. Dan satu hal yang mengagumkan nampak terselip disana. Sungguh tak kusangka, para peserta event telah datang dan mulai menebar senyum-senyum manis mereka. Padahal event baru akan dimulai pukul 07.00 WIB. Mungkin saja karena event ini diselenggarakan di SMA favorit. Mungkin juga, itu sudah menjadi pribadi dari para peserta event. Setelah para peserta selesai daftar ulang, mereka dipersilakan untuk masuk ke ruangan mereka masing-masing. Begitu juga dengan para panitia pengawas ruang. Dan hari ini aku akan bertugas sebagai panitia pengawas ruang, ruang 07 tepatnya.
Tepat pukul 07.00 WIB bel berbunyi sebagai tanda event telah dimulai. Sebagai pengawas ruang, aku mulai membacakan tata tertib pelaksanaan event ini. Karena event ini adalah lomba MIPA SMP sederajat, sudah pasti diantara tata tertibnya adalah dilarang mencontek. Selesai membacakan tata tertib aku mulai membagikan soal dan lembar  jawab. Para peserta memandangku dengan mata  yang berbinar-binar. Entah apa yang sedang mereka rasakan aku tak tahu pastinya. Aku bersyukur event ini bisa berjalan dengan lancar. Walaupun tak sedikit dari mereka yang mencoba memberikan jawaban pada temannya. Dan satu dari mereka membuatku cukup jengkel. Berulang kali aku mengingatkannya, tapi tak dihiraukan olehnya. Bukan, bukan karena ia meminta atau memberi jawaban. Tetapi, karena ia selalu mengajak teman disebelahnya bercerita. Entahlah aku tak tahu namanya dan darimana asal sekolahnya, bahkan aku tak pernah ingin tahu. Tapi yang pasti, ia nampak lebiah dewasa diantara teman-teman sebayanya.
            Beberapa hari setelah diselenggarakannya event tersebut, aku mendapat sebuah pesan singkat dari nomor yang tak kukenal. Dia mencoba memperkenalkan diri kepadaku. Ya, namanya adalah Aldi. Ah, tapi biarlah, mungkin hanya orang iseng. Aku tak begitu menganggap serius perkenalan itu. Tetapi, aku mulai penasaran ketika ia mulai menceritakan beberapa hal tentangku. Aku mulai bertanya, darimana ia mendapatkan nomor teleponku. Dan ternyata ia mendapatkan nomor teleponku dari temanku yang juga bertugas sebagai panitia pengawas ruang pada saat event besar itu diselenggarakan. Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah kuharapkan.Mengapa harus dia? Mengapa harus si biang cerita diruang 07 itu yang menghubungiku. Apa coba maunya? Apa ia masih belum puas membuatku jengkel ataukah ia ingin menunjukkan padaku bahwa ia benar-benar pandai bercerita? Entahlah tak ada yang perlu dipastikan dan aku tak pernah menginginkan kepastiannya.
            Hari demi hari mulai berlalu dan ia masih saja menghubungi. Aku sudah bersikap acuh padanya, tapi entah mengapa ia tak pernah bosan. Bukan karena aku benar-benar angkuh, aku hanya tak ingin membuang waktuku sia-sia untuk menanggapi anak kecil. Hingga akhirnya mungkin ia mulai bosan dan bertanya padaku “Kak Ica kenapa sih kok galak banget sama aku? Aku salah apa?” “Nggak ada yang salah, ini udah sifatku.” Ya pastinya ia memang tak semudah itu percaya pada alasanku. Tapi biarlah, semoga saja setelah ini ia berhenti menghubungiku. Tapi tetap saja, ia tak berhenti menghubungiku. Justru ia semakin sok asik. Mungkin harapannya aku juga bisa begitu, ya minimal aku lebih menganggapnya ada. Tapi sayangnya itu tak akan terjadi. Aku semakin heran, kenapa anak kecil ini tak pernah berhenti, padahal aku tak pernah menganggapnya.
            Akhirnya aku mulai merasa kasihan padanya. Sedikit demi sedikit aku mulai menanggapi ceritanya. Ternyata tak seburuk yang kupikirkan. Biarpun ia masih SMP, sifatnya tak kekanak-kanakan. Tapi tetap saja, yang namanya anak kecil sudah pasti menyebalkan. Aku mulai tau banyak hal tentangnya dan mungkin sekarang aku lebih mengenalnya. Pantas saja ia bersikap lebih dewasa. Ternyata usianya memang sedikit lebih dewasa daripada aku. Entahlah, ini karena aku yang terlalu bersemangat sekolah atau dia yang terlalu menikmati pendidikannya, aku tak mengerti. Dan bagiku itu tak perlu dipertanyakan. Aku sendiri tak mengerti bagaimana seharusnya aku, menghormati atau dihormati? Entahlah. Dia mulai menanyakan banyak hal tentangku. “Eh ngomong-ngomong katanya Kak Ica udah punya pacar ya?” “Iya, udahlah berhenti panggil aku kakak. Biasa aja,  toh kamu juga lebih tua kan.” “Iya Ica, terus pacar kamu cemburu nggak sama aku” “Ya enggak lah, masa iya cemburu sama anak kecil. Nggak usah ngarep deh.” “Cuma tanya.”
            Sejak saat itu, ia mulai menjauh dariku. Ah syukurlah, nggak perlu diusir udah pergi sendiri. Tapi kasihan juga dia, sepertinya ia mulai pupus harapan. Biarpun begitu sikapku tak akan berubah. Ia menjauh mungkin karena ia masih butuh waktu untuk sendiri. Beberapa hari kemudian ia kembali menghubungiku. Tetapi, kini sikapnya agak berubah. Sepertinya ia benar-benar ingin menjaga jarak dariku. Biarlah, yang penting bukan aku yang menyuruhnya pergi. Jadi aku tak perlu minta maaf kepadanya.
Suatu hari ia mengajakku untuk bertemu dan ini akan menjadi pertemuanku yang pertama dengannya. Tidak , pertemuan yang kedua lebih tepatnya. Karena aku telah bertemu dengannya di event itu sebelumnya. “Ica aku pengen ketemu kamu, aku pengen ngomong sesuatu.” “Ngomong apa Di? Kan ngomong lewat pesan singkat aja bisa.” “Nggak bisa. Udahlah ayo!” “Dasar tukang maksa. Ya sudahlah kapan?” “Lusa ya?” “Dimana?” “Di Cafe dekat sekolah kamu aja ya” “Iya.” “Tapi nggak ada yang marah kan?” “Enggak, siapa yang mau marah?” “Pacar kamu.” “Hubungan kami udah berakhir.” “Kenapa?” “Udah nggak sejalan.”
Rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi dan perlahan sinar mentari mulai menghilang tertutup awan nan hitam pekat. Dinginnya udara pun mulai menusuk tajam menembus kulit hingga tiba di ruas-ruas tulang. Di luar mulai nampak angin berhembus meniup daun-daun kering yang telah jatuh dari pohon. Secangkir cappucino hangat yang disajikan tak mampu menghangatkan tubuh ini. Kemana juga si Aldi, udah suasananya nggak mendukung dia tak kunjung datang juga. Sebenarnya apa yang mau dia biacarakan sampai nggak bisa dibicarakan di pesan singkat. “Ica udah lama?”sambil menepuk pundakku. “Eh kamu Di , udah lama ngagetin lagi.” “Maaf ya.” “Iya , mau ngomong apa sih sebenarnya?” “Enggak ngomong apa-apa , cuma mau ketemu kamu.” “Tau gitu aku nggak bakal datang, buang-buang waktu saja. Dasar anak kecil.” “Kamu marah? Maafin ya, kalau nggak gini aku nggak bisa ketemu kamu.” “Ah, udahlah kalau kamu nggak mau ngomong apa-apa aku pulang dulu.” “Mau aku antar?” “Nggak usah, rumahku nggak jauh.”
Sejak pertemuan kami saat itu, ia tak lagi menghubungiku. Mungkin dia marah karena aku meninggalkannya pulang begitu saja. Tapi , mungkin juga ia masih sibuk belajar. Karena beberapa hari ini Ujian Nasional dilaksanakan oleh seluruh SMP sederajat di Indonesia. Aku tak perlu cemas, biarkan saja ia tak menghubungiku toh juga tak akan mempengaruhi kehidupanku. Malah aku senang kalau ia tak menghubungiku, jadi aku tak perlu sungkan-sungkan untuk tidak membalas pesannya. Tapi tetap saja, selang satu hari setelah Ujian Nasional berakhir Aldi kembali menghubungiku. Ya, mungkin dia memang tak pernah bertemu dengan rasa bosan. “Ica, kangen” “Dasar anak kecil, nggombal aja bisanya.” “Enggak Ca, aku beneran kangen.” “Udahlah, kamu diam akan lebih baik.” “Ca, aku mau jadi pacar kamu.” “Diam aja, bercandanya nggak lucu.” “Aku beneran.” “Beneran apa? Beneran bercanda? Udahlah aku tahu kamu habis ujian dan kamu butuh hiburan, tapi beneran deh, itu bercandanya nggak lucu.” “Iya aku cuma bercanda, maaf kalau nggak lucu.”
Lagi-lagi ia sungguh keterlaluan, dia pikir aku adiknya yang bisa diajak bercanda saat dia butuh hiburan. Tapi kalau dipikir-pikir ia lucu juga, berani-beraninya ia bercanda sampai sebegitunya. Untung, aku bukan tipe anak yang dikit-dikit bawa perasaan. Dasar anak kecil, sukanya cuma basa basi nggak jelas. Tapi setidaknya aku sedikit terhibur.
Hari berganti minggu dan minggu telah berganti bulan. Sikapnya masih tetap saja begitu, padahal ini sudah tiga bulan setelah perkenalan kami. Mungkin anak ini memang benar-benar tidak mempunyai rasa bosan. “Ica mau ketemu lagi nggak?” “Untuk apa?” “Aku mau pamitan sama kamu Ca.” “Pamitan? Emang kamu mau kemana Di?” “Aku mau melanjutkan sekolah ke luar kota Ca.” “Oh , jadi kapan ketemunya? Dimana?” “Besok ya Ca , ditempat biasa Ca.” “Baiklah, jangan lama-lama aku males nunggu.” “Iya Ica.”
Dan lagi, lagi-lagi ia tak kunjung datang. Sungguh keterlaluan, ketika aku menuju tempat ini mentari masih bersemangat menunjukkan senyumnya. Tapi, sekarang sinar mentari mulai muram dan Aldi belum datang juga. Sesekali aku memandangi ponselku, barangkali Aldi memberikan penjelasan. Namun, ponselku masih diam menikmati kesunyiannya. Akhirnya aku mulai membuang gengsiku, untuk menghubungi Aldi. “Di kamu dimana? Jadi nggak?” “Eh Ca maaf aku nggak bisa aku ada acara mendadak, maaf aku lupa ngasih tahu kamu.” “Oh, yaudah aku pulang kalau gitu.” Aku mencoba bertanya pada angin, belum puaskah ia membuatku jengkel selama ini. Lalu, apa salahku hingga ia begitu tertarik untuk membuatku naik darah. Yang namanya anak kecil tetap saja anak kecil. Seserius-seriusnya dia, tetap saja dia tak mampu menghargai orang lain.
Hari ini aku benar-benar membiarkan ponselku menikmati kesunyiannya. Bukan karena aku marah ataupun benci. Aku hanya tak ingin naik darah, untuk sekali ini saja. Malamnya, aku mulai memandangi ponselku dan mulai berpikir mungkin saja ada hal penting yang masuk melalui pesan singkat. Masih sama seperti biasanya, semua pesan singkat yang masuk berasal dari sender yang sama. Siapa lagi kalau bukan Aldi. Ia mengirim banyak sekali pesan singkat dan isinya itu-itu saja. Mungkin jika poselku dapat berbicara, ia akan menjerit atau bahkan menegur Aldi dan melarangnya untuk mengirim pesan singkat lagi. Aku hanya membaca satu persatu pesan singkat dari Aldi, tanpa membalasnya. Karena aku juga bingung, pesan singkat mana yang harus aku balas terlebih dahulu. “Ca, kamu jangan diam aja. Maafin aku Ca.” “Apaan sih kamu Di, maaf untuk apa? Kamu nggak salah.” “Ca, jangan gitu. Aku tahu kamu marah gara-gara yang kemarin.” “Enggak Di, aku nggak marah. Udahlah aku mau tidur.” Aku meletakkan ponselku dan mulai berjalan menyusuri mimpi-mimpi.
Sayup-sayup aku mulai mendengar suara adzan dikumandangkan. Perlahan aku mulai membuka mata dan bergegas melaksanakan kewajibanku. Selesai itu, aku kembali menghampiri ponselku yang berada diatas meja. Mungkin saja Aldi masih menjelaskan kejadian itu panjang lebar, padahal aku benar-benar tidak marah ataupun benci. Dan benar, ada satu pesan singkat dari Aldi. “Yaudah Ca makasih kalau kamu nggak marah. Oh iya Ca besok aku udah berangkat ke luar kota dan mungkin ini adalah pesan singkat yang terakhir dari aku. Kamu jaga diri baik-baik ya Ca. Semoga suatu saat nanti kita bisa berjumpa kembali.” Aku mencoba membalas pesan singkat dari Aldi. Namun, semua pesan singkat yang kukirimkan gagal karena nomor Aldi sudah tidak aktif. Sejak saat itu aku tak lagi mendapati Aldi menghubungiku.
Hingga tiga tahun setelah terakhir kali Aldi menghubungiku, aku kembali mendapatkan pesan singkat dari nomor yang tak kukenal. “Assalamualaikum Ica.” “Waalaikumsalam, maaf ini siapa?” “Lupa ya Ca?” “Boleh nebak?” “Boleh” “Aldi kan?” “Wah, kamu kok tahu Ca?” “Iya lah, aku kan ahli nebak. Enggak, enggak ini cuma kebetulan.” “Pasti ini karena kamu kangen banget Ca sama aku.” “Enggak ya, dasar menyebalkan.” “Udah ditinggal tiga tahun masih aja negatif thinking. Eh Ca aku kangen nih, ketemu yuk.” “Kapan? Dimana? Asal kamu datang aja.” “Besok, ditempat biasa. Iya, iya aku pasti datang.”
Hari ini mentari benar-benar menunjukan senyum manisnya kepada dunia. Angin pun perlahan mulai berhembus dan secangkir es cappucino mulai menemaniku menikmati sapaan lembut sang angin. Sesosok insan yang mungkin aku tak lagi asing dengannya berlari dan berhenti dihadapanku. “Ca udah lama?” “Belum, baru 15 menit.” “Kamu masih marah sama aku Ca? Maafin aku Ca.” “Apaan sih, udahlah.” “Aku tahu Ca dari dulu kamu tak pernah menyukaiku atau bahkan membenciku.” “Iya memang.” Aku sedikit menghela nafas. “Itu yang kamu tahu, tapi tidak denganku.” “Maksudmu?” “Aku tak pernah membencimu Di, selama ini aku diam, aku angkuh, aku cuek karena aku merasa belum pantas untukmu. Ketahuilah, setelah kamu menyelesaikan pendidikan di SMP aku selalu berharap untuk bisa satu sekolah denganmu. Walau kenyataannya tak seperti itu. Bahkan, saat kamu pergi aku selalu berdo’a untuk dapat bertemu denganmu kembali dan aku berharap kamu kembali untukku. Aku selalu menunggu dan merindukanmu Di.” Aku mencoba menahan genangan air mata ini dihadapannya. Dia pun mulai menatapku dan tersenyum.