Baru pukul enam sore tapi rasanya
bagaikan tengah malam, aku terpaksa untuk
masuk ke dalam rumah.Rasanya seperti tak ada peradaban di suku ini, kegelapan dan
kesunyianlah yang sangat
berperan disini.Aku mulai merasa
lapar, tetapi
aku tak tahu harus kemana aku mencari makanan.Di sepanjang perjalananku menuju tempat
ini tak satu pun aku temui warung
makanan.Mungkin
warga disini sangat mandiri hingga mereka selalu memenuhi kebutuhannya
sendiri-sendiri.
Tiba-tiba
saja seseorang mengetuk pintu rumahku “Siapa?” “Saya Bu guru,saya mau
menghantarkan makanan” “Oh iya bu silahkan masuk,pintunya tidak di kunci.” “Baik.”
Alhamdulillah akhirnya ada warga yang peduli denganku.”ini makanannya ditaruh
mana bu?” “Ditaruh di meja sini saja bu.” “Iya.” “Mari duduk bu,kita makan
bersama.” “Ah tidak usah,bu guru saja yang makan ,saya sudah makan tadi.” “Baiklah
bu,terimakasih ya bu sudah di bawakan makanan.” “Iya bu sama-sama ini sudah
menjadi kewajiban saya sebagai istri kepala suku untuk memberikan makanan
kepada tamu.Ibu betah tinggal disini ?” “Do’akan ya bu,semoga saja saya betah.”
“Baik.Mulai kapan bu guru akan mengajar?” “Besok saya sudah mulai mengajar bu.”
“Semoga ibu kuat dan betah mengajar disini.Dulu juga sudah pernah ada guru yang
di tugaskan disini tapi ia tidak betah mengajar di sini dan akhirnya pulang.”
“Memang murid-murid disini,sifatnya bagaimana bu?” “Ya sebagian besar dari
mereka masih sulit untuk menerima pelajaran bu?” “Apakah semua anak yang ada
disini bersekolah bu?” “Tidak,kebanyakan dari anak yang ada di sini lebih
memilih membantu orang tuanya berburu dan memasak,karena mereka beralasan
sekolah hanya akan menghabiskan uang.” “Tapi kan disini sekolah gratis bu.” “Iya
sekolahnya gratis tetapi seragamnya mahal .” “Oh jadi itu alasannya.” “Iya.Bu guru
sudah selesai makannya?” “Sudah bu.” “Bagaimana rasanya enak apa tidak.” “Enak
bu” Ibu kepala suku pun memasukkan wadah makanan ke dalam tasnya “ Loh bu kan
belum saya cuci.” “Nggak apa-apa bu guru disini kan nggak ada air,nanti saya
cuci di rumah saja.” “Sekali lagi terimakasih banyak ya bu.” “Iya sama-sama.”
Keesokan harinya,saat masih pagi
buta aku bergegas ke rumah ibu kepala suku untuk mandi,tetapi betapa
terkejutnya aku,saat aku mengetahui bahwa tempat pemandian itu adalah
sungai.Akhirnya aku memutuskan untuk tidak mandi,dan langsung bergegas ke
sekolahan untuk mengajar.Rasanya sudah tidak sabar untuk menemui murid-murid
baruku.
Tetapi kenyataannya semua tak
seperti yang kuharapkan.Murid-murid yang datang hanya sedikit,bahkan tak ada
satu pun dari mereka yang menghargai kedatanganku.Tetapi aku harus tetap semangat.Aku
menyuruh mereka masuk,lalu aku memperkenalkan diri pada mereka.Tapi tetap saja
mereka malah asyik berbincang-bincang sendiri.Rasanya begitu menyesakkan, tapi
inilah perjuangan “Murid-murid apakah semuanya sudah lengkap?” “Belum bu.” “Lalu
siapa yang belum datang?” “Ani bu.” “Mengapa dia tidak masuk?” “Tidak tahu bu.”
Tanpa berfikir panjang aku langsung memulai pelajaran untuk hari ini.
Beberapa jam kemudian Ani pun
datang,seperti anak tanpa sopan santun ia masuk tanpa salam ataupun izin terlebih
dahulu, “Kamu Ani kan?” “Iya bu.” “Mengapa kamu telat?” “Tadi saya membantu ibu
mencari sayur di hutan, sebenarnya saya sudah di suruh pulang duluan tetapi di
perjalanan menuju rumah saya terjatuh dan kaki saya keseleo,lalu saya tidak
bisa berjalan dan memutuskan untuk menunggu ibu saya,hingga akhirnya ibu pulang
melewati jalan yang sama ,dan akhirnya mengajak saya pulang lalu mengobati kaki
saya yang keseleo.” “Lalu ,sekarang kaki kamu masih sakit.” “Tidak bu,sudah
sembuh.” “Oh ya sudah,mari anak-anak kita lanjutkan belajarnya.” Saat pelajaran
masih berlangsung salah satu murid bertanya “Apa sih bu gunanya kita belajar ?
toh orang tua saya yang tidak sekolah juga bisa menghidupi saya dan saudara
saya.” “Ya supaya kita lebih pandai dan menjadi insan yang cerdas sehingga
mudah untuk mencapai cita-cita.” “Tapi apa gunanya cita-cita bu sementara tanpa
cita-cita pun kita masih bisa hidup.” “Jika kita mempunyai cita-cita dan
cita-cita kita tercapai maka kita akan menjadi orang yang berarti.” “Oh.”
Sepanjang aku mengajar tak satupun
anak yang memperhatikanku, bahkan Ani malah berbicara sendiri,sehingga
teman-temannya pun ikut gaduh.Tapi aku tetap semangat,mungkin ini semua terjadi
karena mereka masih beradaptasi ,lagipula mereka masih SD jadi wajar jika
mereka belum tahu jika tindakan mereka dapat menyinggung perasaan orang
lain.Hingga akhirnya pelajaran pun berakhir, mereka bergegas untuk pulang
kerumah masing-masing.Tak lupa aku mengajari mereka untuk berdo’a dan berjabat
tangan sebelum pulang.Sebagian dari mereka ada yang tertib dan mengikuti
perintahku, sebagian juga ada yang langsung pulang , dan Ani ,hmm lagi-lagi
anak itu bertindak semaunya sendiri,saat semua masih khidmat berdo’a ia malah
langsung pergi meninggalkan kelas tanpa permisi.
Hari kedua,dan hari-hari berikutnya
pun sikap mereka masih tetap.Mereka sepertinya menganggap pelajaran itu tidak
penting bahkan mereka tidak menginginkan untuk meneruskan sekolah,mereka sekolah
seperti hanya terpaksa,bukan karena kemauannya sendiri.Hingga akhirnya tepat satu
bulan aku mengajar disini,aku memutuskan untuk berhenti mengajar disini.Masih
pagi buta aku bergegas ke suku Dayak luar untuk menemui kepala dinas pendidikan
suku Dayak.Tapi sesampainya disana “Jadi ibu memutuskan untuk berhenti mengajar
di suku Dayak bagian pedalaman?” tanya sang kepala Dinas Pendidikan “ Iya pak
saya sudah tidak betah mengajar disini,sepertinya murid-murid juga tidak
membutuhkan kehadiran saya.” “Justru itu bu,karena murid-murid suku Dayak
pedalaman belum mengerti betapa pentingnya pelajaran ,maka kehadiran ibu Evita
disini sangatlah dibutuhkan,jadi saya mohon ibu untuk tetap mengajar disini,bahkan
jika ibu sanggup ibu bisa mengajak anak-anak yang belum mampu bersekolah untuk
mulai bersekolah .” “Tapi bagaimana caranya pak,mereka menganggap sekolah hanya
menghabiskan uang dan lagi-lagi seragam yang jadi alasannya.” “Ya ibu harus
memberi kebebasan pada mereka untuk tidak memakai seragam sekolah.” “Bagaimana
mungkin pak?mereka yang berseragam saja tidak bisa diatur apalagi mereka yang
tidak berseragam.” “Ibu harus sabar,ibu anggap saja ini adalah pengabdian,ibu
harus paham bagaimana kualitas pendidikan di negeri kita ini.Jika seperti ini
saja ibu sudah menyerah lalu akan jadi seperti apa negeri kita dengan generasi
penerus bangsa yang tanpa ilmu.” “Baik kalau begitu saya akan berusaha lebih
keras lagi pak, terimakasih atas masukkannya.”
Setelah selesai berbincang-bincang
dengan kepala dinas pendidikan suku Dayak aku bergegas untuk pulang.Hal pertama
yang kulakukan adalah mendatangi satu-persatu rumah anak yang sudah waktunya
sekolah tetapi ia belum mampu bersekolah.”Permisi pak,apakah bapak memiliki
anak yang sudah cukup umur untuk sekolah tetapi,ia belum bersekolah?” “Ibu ini
siapa ?apa urusan ibu sehingga bertanya-tanya seperti itu,memangnya ibu pikir
sekolah itu nggak pakai uang.” Jawab seorang bapak dengan suara kasar.”Maaf pak
sebelumnya,saya guru baru disini,saya baru ditugaskan disini selama satu
bulan.Saya ingin semua anak disini mendapatkan pelajaran yang sama.Jadi,saya
kesini bermaksud untuk mengajak anak bapak bersekolah,anak bapak akan diberikan
kebebasan untuk tidak berseragam,sehingga bapak tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk menyekolahkan anak bapak.Apakah bapak setuju dengan tawaran saya?” “Lebih
baik ibu keluar saja dan pulang kerumah ibu!!!anak saya tidak butuh sekolah,ia
masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan.” Lalu sang bapak
mendorongku keluar dari rumah dan menutup pintu rumahnya.
Namun aku tak berhenti sampai
disini,aku terus mendatangi rumah-rumah warga yang anaknya butuh sekolah.Namun
aku tak berdaya,saat lebih dari 90% warga yang aku datangi menolak
tawaranku,sehingga aku harus terima dengan 5 murid baru yang setuju dengan
tawaranku.Setidaknya sekarang aku mengajar 15 murid.Aku hanya berharap mereka
bisa menjadi insan yang lebih berguna dan mempunyai tujuan hidup.
Hingga saat ini murid-murid yang ku
ajar belum sepenuhnya memperhatikan pelajaranku.Hanya mereka yang tidak
berseragamlah yamg sepertinya sangat membutuhkan pelajaranku.Hingga akhirnya
aku kesal,dan mengeluarkan kata yang tidak sepantasnya mereka dengar.Sebenarnya
aku hanya mengajari mereka untuk bersyukur,karena mereka masih mampu sekolah
bahkan berseragam.Karena diluar sana masih banyak anak-anak yang ingin
merasakan indahnya di bangku sekolah namun mereka tak mampu.Seketika mereka yang
awalnya gaduh menjadi diam,seakan mereka benar-benar paham apa yang kukatakan.
Sejak saat itu mereka lebih
memperhatikan apa yang aku ajarkan,bahkan sekarang mereka menjadi lebih tertib
dan disiplin,tak ada satupun murid yang tidak mengerjakan PR.Bahkan Ani yang
dulunya tak pernah bisa diatur,kini dia mulai disiplin dan selalu memperhatikan
sekolah,sekarang ia terlihat lebih bersemangat saat sekolah.
Hingga akhirnya beberapa tahun
kemudian Ujian Nasional pun diselenggarakan.Semua murid yang ku ajar lulus
seratus persen bahkan Ani mampu menembus rangking sepuluh besar.Aku sangat
bersyukur,apalagi saat ia berkata bahwa ia akan melanjutkan sekolahnya ke luar
kota.Rasanya hatiku seperti terbang tinggi jauh menembus awan.Pada hari itu
juga Kepala Dinas Pendidikan menemuiku”Selamat ya ibu berhasil memberikan cahaya
di suku ini dengan ilmu yang ibu berikan,andai saja semua guru bisa seperti
ibu,saya yakin 15 tahun kedepan negeri ini akan menjadi negeri yang tinggi
SDM-nya.” “Terima kasih pak, ini juga berkat motivasi dari bapak,hingga
akhirnya saya bahwa tidak ada sesuatu yang tidak bisa kita lakukan selama kita
mau berusaha.”